Sudah lama sebenarnya saya pribadi ingin menulis tulisan mengenai demokrasi. Sudah penuh rasanya dada ini dengan ‘ulah’ sistem yang satu ini. Takut kalau tidak saya tulis segera, khawatir saya jadi tidak peduli lagi dengan alam sekitar saya.
Walaupun tulisan ini hanya sekedar blog dan opini namun kata Imam ‘Ali , “Jangan perhatikan siapa yang menyampaikan, tapi perhatikan apa yang disampaikan".
Kemarin saya menyaksikan berita di Koran-koran,Berita online yang memberitakan bahwa Kemenangan Seorang Calon Bupati dan Wakil Bupati Muna setelah menyelenggarakan PSU dalam pilkada Muna. Saya menilainya Kebanyakan Pemimpin yang di Utus oleh Rakyat hanya sebagai Modal untuk bersujud sembah Kepada Pimpinan Parpol masing-masing, ini aneh sekali.
Kemudian berselang hari, saya kembali ‘dihibur’ sebuah pernyataan seorang mantan cagub Sultra–dan ia berniat lagi mencalonkan diri lagi!- berkata bahwa siapa toh yang tak ingin jadi Gubernur? Presiden? Semua orang pasti ingin. Pangkat itu merupakan sebuah prestasi yang tidak bisa disangkal! Kemaren saya kalah dari lawan itu hanya beberapa suara saja. Saya maju lagi bukan untuk kalah tapi maju untuk menang! (begitu kira-kira perkataannya, ia terus bicara sambil ketawa-ketawa)
Bukannya saya membenci kepada individu. Namun, ada suatu keterkaitan mengenai dua pemberitaan ini. Sebuah hubungan sebab akibat yang sangat berbahaya! Saya dan anda tentu bisa menyimpulkan bahwa “Sebuah ego dan nafsu untuk berkuasa mutlak membahayakan pribadi dan orang lain, apalagi jika alat pemuasan itu menyangkut hak hidup orang lain!”. Sepertinya pernyataan mantan cagub di atas bisa mewakili ‘isi perut’ setiap calon pemimpin bangsa ini. Maaf bila ada yang tersinggung.
Sayapun tidak bisa juga disalahkan sepenuhnya kepada ‘si calon’ pemimpin yang akan berkuasa. Namun yang patut dipertanyakan dan dikoreksi adalah sistem yang menaungi situasi. Sistem demokrasilah yang menjadi pangkal masalah selama ini. ‘Kedaulatan rakyat’ sebagai prinsip demokrasi sudah disalahtafsirkan. "Toh dari kata-katanya saja sudah salah".
Menurut agama, kedaulatan mutlak di tangan Allah. Saya hanya bisa menyarankan ungkapan kedaulatan di tangan rakyat diganti dengan ‘keberpihakan kepada rakyat’.
Sistem demokrasi di indonesia saat ini adalah bentuk pengkerdilan dari makna demokrasi itu sendiri. Jika dinilai dari ‘nilai kedemokrasiannya’, maka saya bisa mengatakan bahwa sebelum tahun 1998, kita bangsa indonesia jauh lebih demokrasi dari pada zaman sekarang ini. Kenapa? Kesejahteraan rakyat terbukti lebih dominan dibandingkan dengan hanya sekedar koar-koar janji-janji partai dan calon-calon pemimpin.
Patut kita kembali belajar demokrasi kepada Zaman Rasulullah Saw dan Khalifah Islam Khulafaturrasyidin. Saya tidak mengatakan bahwa saya bermaksud mengubah demokrasi yang sudah ada dengan sistem khilafah. Tetapi yang anjurkan adalah, kita mesti bercermin dan belajar banyak kepada perintis demokrasi yang ‘sebenarnya’ itu. Saya akan mengungkapkan -sedikit -, betapa demokrasinya islam pada zaman itu.
Pertama, dari segi sistem pemilihan pemimpinnya. Dalam islam, sebuah kepemimpinan/jabatan merupakan amanah yang sangat berat. Sampai-sampai, ketika Umar bin Abdul Aziz ketika diangkat menjadi khalifah, beliau malah beristighfar dan menangis. Demi Allah, seandainya orang mengetahui beratnya pertanggung jawaban atas jabatan di akhirat kelak, maka tidak ada seorang pun yang mau menjadi pemimpin dan pejabat. Hanya karena amanat dan kepercayaanlah para khalifah maju menjadi pemimpin. Nah, bagaimana dengan keadaan kita sekarang?
Kedua, dari segi sistem pengambilan keputusan. Setiap keputusan yang akan diambil, harus melewati jalur musyawarah. Rasulullah SAW yang tidak ada dosa dan setiap perkataannya benar saja, selalu menanyakan pendapat dari sahabat-sahabat dan rakyatnya.
Musyawarah selalu dihadiri dengan antusias sehingga para sahabat-sahabat (bisa dibilang MPRnya Rasul) duduk rapat-rapat yang apabila sebuah apel jatuh dari langit, maka akan mengenai punggung-punggung mereka dan tidak jatuh ke tanah. Tidak ada perdebatan dan perkelahian. Yang ada senyum yang tulus kepada sahabat. Dalam islam, perbedaan adalah rahmat. Sementara itu bagaimana dengan kita?
Ketiga, keadilan dalam penjatuhan hukuman. Rasulullah SAW bersabda, demi Allah jika Fatimah (putri beliau) mencuri, maka ia akan dipotong tangannya. Hukuman berlaku kepada siapa saja dan kapan saja. Nah , kita bagaimana?
Keempat, penampilan dan gaya hidup para pemimpin. Rasulullah SAW yang merupakan pemimpin umat, baik pemerintahan dan agama, hanya tidur dengan dua lipatan pelepah kurma. Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya untuk negara (Baitul Mal). Umar selalu berpakaian yang ditambal dengan empat belas tambalan, tidak beda dengan pembantunya. Umumnya para khalifah selalu berkeliling kampung untuk mencari rakyatnya yang kelaparan. Nah, bagaimana dengan keadaan demokrasi kita?
Kelima, fokusnya para pemimpin untuk mensejahterakan rakyat. Dalam waktu 23 tahun, Rasulullah SAW berhasil membawa bangsa arab, yang tadinya berperadaban paling terbelakang di dunia, menjadi negara super power yang paling disegani di dunia. Dalam waktu dua tahun, Umar berhasil memakmurkan rakyatnya yang tadinya mengalami krisis multidimensi, sehingga ketika itu tidak ada lagi yang pantas menerima sedekah. "Hal ini membuktkan keseriusan pemimpinnya". Bagaimana dengan pemimpin kita?
Kelima uraian di atas hanya sedikit keteladanan dari sistem pemerintahan islam. Kita seharusnya menyadari bahwa betapa demokrasinya islam. Adapun kisah-kisah di atas bukanlah cerita omong kosong. Sejarah telah mencatat demikan adanya. Karena keterbatasan saya, saya hanya bisa menyingkap sedikit takbir keindahan demokrasi islam.
Keluhuran kepemimpinan hanya akan dicapai bila disandarkan kepada iman kepada Allah, perasaan takut kepadaNya, dan ketaqwaan yang dijunjung tinggi. Wallahua’lam
Sekarang yang ada di demokrasi kita Indonesia, terkhususnya Sulawesi Tenggara' hanyalah kepentingan pribadi,kelompok,dan para petinggi-petinggi partai "demokrasi rakyat" yang berhak memakan makanan lezat, rakyatnya dibiarkan dalam kesengsaraan semata, sementara demokrasi berada ditangan rakyat, bukan pada pimpinan-pimpinan partai, "Maaf bila menyinggung sedikit, karena kalian telah menyinggung banyak perasaan, ahlak kami,dan hak-hak kami sebagai rakyat kecil yang saat ini hidup dalam sistem penindasan"
#penulis : La Ode Muhamad Fardan
cakrawalasultra.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar