Bersama Memahami Hakekat Rakyat
RUU Pilkada melalui perwakilan di DPRD sudah disahkan. Sehingga memilih kepala daerah saat ini sudah tidak langsung lagi. Rakyat kini sudah tidak lagi ke TPS untuk memilih langsung calon pemimpinnya. Sebelumnya, polemik mengenai hal ini sudah santer dibicarakan di berbagai media. Berbagai macam pro dan kontra bermunculan.
Bagi yg pro pilkada langsung, mereka berkeyakinan rakyat punya hak untuk memilih pemimpinnya sendiri. Pilkada langsung juga merupakan representatif dari sebuah negara demokrasi. Bahkan yg paling ekstrim, bagi mereka, pilkada tidak langsung (melalui DPRD) itu sama saja telah 'merampas' hak dan kedaulatan rakyat. Sedangkan bagi mereka yg mendukung pilkada melalui perwakilan di DPRD, pilkada melalui perwakilan di DPRD ini sudah sesuai dengan Pancasila khususnya sila ke-4. Pilkada langsung (membiarkan rakyat memilih langsung) merupakan 'produk' demokrasi liberal yg dimana Indonesia bukanlah negara liberal.
Sejak menggunakan sistem pilkada langsung tahun 2004 silam, ternyata juga tidak signifikan menghasilkan pemimpin daerah yg berkualitas, malah justru tidak sedikit pemimpin daerah yg terlibat korupsi. Memang masing-masing sistem pemilihan memiliki kekurangan, namun sistem pemilihan langsung dengan latar belakang kualitas rakyat yg berbeda-beda, tentu memiliki tingkat mudharat yg jauh lebih banyak daripada sistem pemilihan melalui perwakilan. Terlepas dari proses politik yg ada, pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat memang masih memiliki kerancuan. Betapa tidak, setiap rakyat punya hak untuk memilih, one man one vote, tanpa melihat latar belakang kualitas pemilihnya. Bagaimana bisa menghasilkan pemimpin yg berkualitas jika yg memilih memiliki latar belakang kualitas yg berbeda-beda. Sebagai contoh, bagaimana bisa 'suara' seorang preman dengan 'suara' seorang akademisi sama-sama dihitung satu 'suara'? Bagaimana bisa 'suara' (maaf) seorang tamatan SD dengan 'suara' seorang profesor sama-sama dihitung satu 'suara'? Bagaimana bisa 'suara' orang yg memilih karena analisa dengan 'suara' orang yg memilih karena ikut-ikutan atau malah karena dibayar sama-sama dihitung satu 'suara'? Kira-kira bisakah pemimpin yg berkualitas 'lahir' dari proses semacam itu? Rakyat memang mempunyai hak untuk memilih calon pemimpinnya sendiri, tapi apakah rakyat juga mempunyai kemampuan untuk menilai calon pemimpin mana yg terbaik dan berkualitas? mengingat latar belakang pemahaman dan pendidikan rakyat Indonesia yg masih beragam.
Jangan sampai rakyat kembali kecele, dibohongi oleh janji-janji, daerahnya tidak merasakan pembangunan atau perbaikan infrastruktur hanya karena warga daerah tsb tidak memilih pemenang pilkada. Kedaulatan rakyat yg sesungguhnya adalah ketika rakyat bisa menikmati harga-harga kebutuhan dengan murah, sumber daya alam dikelola dan dikuasai oleh kita sendiri, keamanan terjamin dan yg paling penting yaitu mendapatkan pendidikan yg berkualitas. Seperti kita ketahui, biaya pendidikan di Indonesia masih cenderung mahal, tidak semua rakyat Indonesia bisa menikmati pendidikan yg layak dan baik.
Berapa banyak rakyat Indonesia yg tidak mampu meneruskan sekolah hanya karena masalah biaya? Hal ini tentu sangat mempengaruhi kualitas kedaulatan rakyat itu sendiri sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negri ini yg sesungguhnya. Pemilihan langsung hanya bisa dilakukan dan dilaksanakan jika rakyat sudah terdidik, kualitas hidupnya sudah baik. Jika kualitas pendidikan dan hidup rakyat sudah baik, tentu rakyat tidak akan mudah percaya diberi 'janji surga' oleh calon pemimpin mereka. Jadi, perbaiki dahulu kualitas pendidikan dan kualitas hidup rakyat, sebelum mereka diberi hak untuk menentukan, menilai, dan akhirnya memilih langsung calon pemimpinnya sendiri, sehingga bisa terlahirlah pemimpin-pemimpin yg berkualitas.
#La Ode Muh Fardan
Journalis cakrawalasultra.com
0 komentar:
Posting Komentar