Cakrawala Sultra™| Pemimpin Harus Tegas Tanpa Harus Kasar
Seorang pemimpin harus tegas tanpa harus kasar. Ungkapan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto tersebut menjadi sinyal figur calon Gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Warga Jakarta mendambakan sosok gubernur pekerja yang mengetahui persoalan yang membelit kota megapolitan ini, berani bertindak tegas tanpa harus kasar. Dia pun harus berani mengambil risiko, melayani dan mennaggapi. Jangan bossy, hanya menunggu laporan, dan enggan berdialog dengan warganya. Warga Jakarta jangan terlena pencitraan melalui pidato dan janji. Pun, karena di ibukota ini banyak orang pintar, sosok gubernur jangan hanya berteori. Warga Jakarta tak membutuhkan wacana!
Menuju pelaksanaan pemilihan gubernur tahun 2017, warga Jakarta mulai memperdebatkan sosok pemimpin Jakarta. Sejumlah kelompok masyarakat memunculkan figur versinya seraya menjajakan sosok bakal calon (balon) gubernur. Suasana menjadi ramai karena gubernur petahana tak jarang bersilat lidah dengan beberapa balon gubernur. Warga di akar rumput pun tak mau diam. Mereka membanding-bandingkan gubernur petahana dengan para balon gubernur. Luar biasa, karena akar rumput makin merasakan urgensi kepemimpinan publik. Semoga suasana demikian menumbuhkan kedewasaan masyarakat melakoni prinsip-prinsip demokrasi.
Namun, tidak semua balon gubernur Jakarta berani menjajakan rencana program pembenahan ibukota yang mengungguli program yang dikerjakan gubernur petahana. Rata-rata balon gubernur gemar membuka borok kelemahan dan kekurangan gubernur petahana, kendati masa kampanye masih lama. Hampir semua menunjukan ambisinya untuk menggusur gubernur petahana. Suasana itu wajar saja, semacam testing the waters. Hanya saja, akar rumput mudah saja menilai beberapa balon gubernur tidak sungguh-sungguh menantang gubernur petahana.
Sekelompok masyarakat yang mengusung gubernur petahana merasa tersinggung karena partai-partai meremehkan calon perorangan dan menggadang-gadang sosok balon gubernur yang tidak layak. Sebagian warga Jakarta terang-terangan menolak isu-isu suku, agama, dan ras tapi sebagian lainnya justru memanfaatkan isu-isu itu karena gubernur petahana sengaja mengembuskannya. Bagi generasi pemilih era terkini, isu-isu suku, agama, dan ras tetap relevan sebab agama, misalnya, bisa menjadi faktor penentu dalam memilih pemimpin daerah yang amanah. Mengelola isu-isu suku, agama, dan ras dalam meraih simpati pemilih bisa mujarab tanpa mengabaikan kapasitas balon gubernur dalam memenuhi kebutuhan warga Jakarta.
Warga Jakarta berharap partai-partai yang mengincar kursi DKI 1 bersungguh-sungguh menyodorkan balon gubernur dan tidak meremehkan harapan warga Jakarta yang menginginkan sosok yang kualifaid. Jangan menjadikan ajang pemilihan gubernur DKI Jakarta sebagai panggung hiburan. Fenomena banyaknya balon gubernur cukup menyedot perhatian publik. Kearifan warga Jakarta dalam memilih calon gubernur Jakarta akan menginsipirasi provinsi, kabupaten, dan kota lainnya di penjuru negeri karena latarnya yang bervariasi.
Sejumlah kepala daerah berprestasi dicocok-cocokkan sebagai lawan gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok seperti Tri Rismaharini, Walikota Surabaya; Ganjar Pranomo, Gubernur Jawa Tengah; Ridwan Kamil, Walikota Bandung; Yoyok Riyo Sudibyo, Bupati Batang; dan Muhammad Azwar Anas, Bupati Branyuwangi. Yang santer sebagai pesaing Ahok adalah Mochammad Ridwan Kamil. Setidaknya tiga partai meminang Kang Emil, panggilan akrabnya, dalam bursa balon gubernur, yakni Partai Golkar, Partai Gerindra, dan PKS. Godaan bermunculan untuk mendukung pencalonannya. Namun, dia resmi memutuskan untuk tetap setia dengan warga Bandung.
Jakarta memang pusat pemerintahan dan pusat perekonomian di Indonesia yang memiliki daya pikat bagi para tokoh dan partai pendukungnya. Di tengah kerumitan persoalan ibukota negara ini, Jakarta selalu menjadi ‘bancakan’ banyak pihak. Tidak sedikit kepala daerah yang terperosok menjadi pesakitan. Orang-orang sekitarnya pun tidak luput. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), contohnya, menemukan 1.200 proyek Chaeri Wardana Chasan alias Wawan, adik mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah, dan suami Walikota Tangerang Selatan (Tangsel) Airin Rachmi Diany, terindikasi bermasalah. Karena banyaknya kepala daerah terjerat kasus korupsi itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyekolahkan 17 pasangan bupatiwalikota dan wakilnya hasil pilkada serentak tahun 2015 di KPK.
Warga Jakarta patut menimbang setiap calon pemimpin DKI Jakarta. Setiap pilihan selalu memiliki konsekuensi logis dan etis. Tugas pemimpin daerah yang diakui memiliki kompetensi, seperti Kang Emi, yang memilih mundur adalah teladan agar kepala daerah lain termotivasi. Partai diharapkan mempedulikan persoalan ini. Kepedulian partai menjadi urgen. Persoalan Indonesia memang bukan hanya Jakarta. Tapi, Indonesia akan maju ketika kepemimpinan daerah yang baik itu merata di seluruh daerah.
Warga Jakarta berharap agar gubernur Jakarta yang terpilih nanti fokus membenahi Jakarta. Sangat baik jika setiap pemimpin daerah ‘bertarung’ untuk membuktikan kinerja terbaik, yang saling bertukar ide kreatif dan inovatif dalam membangun seluruh daerah di Indonesia. Pemimpin yang bijak, arif, sopan, dan santun.
Oleh : La Ode Muhamad Fardan
Sarjana Ilmu Komunikasi / Fisip UHO
Pengurus Pusat Studi Demokrasi Kendari
"PSD Kota Kendari" Sultra .
0 komentar:
Posting Komentar