Dalam Politik Kekeluargaan

Menyuburkan Politik Dinasti

Benar-benar buyar harapan untuk mewujudkan demokrasi yang sejati sebagai fondasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mahkamah Konstitusi (MK) melegalkan politik kekerabatan atau politik dinasti yang menjadi parasit demokrasi. Karena pertimbangan bahwa konstitusi menjamin setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif, MK membatalkan syarat calon kepala daerah/calon wakil kepala daerah yang tidak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana (incumbent).

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, ketentuan larangan konflik kepentingan merupakan pembedaan perlakuan yang semata berdasarkan kelahiran dan status kekerabatan seseorang. MK berpendapat, pemaknaan frasa ”tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena diserahkan kepada penafsiran setiap orang sesuai kepentingannya.

Dalam putusannya, MK memang tidak menafikan kenyataan kepala daerah/wakil kepala daerah petahana mempunyai berbagai keuntungan dalam proses pencalonan kerabatnya. MK bersepakat dengan pembatasan agar keuntungan itu tidak disalahgunakan petahana untuk kepentingan dirinya dan kerabatnya. Namun, pembatasan itu harus kepada petahana, bukan keluarga, kerabat, atau kelompoknya.

Putusan itu dikhawatirkan melanggengkan praktik politik kekerabatan, yakni kekuasaan politik yang pelakunya adalah kelompok orang yang masih berhubungan keluarga. Selama ini politik dinasti adalah sumber kerisauan. Politik dinasti menjadi parasit demokrasi karena kepala daerah beserta wakilnya (gubernur dan bupati/walikota beserta wakilnya) memperoleh kekuasaan dan mempertahankannya melalui cara yang primitif. Keluarga mereka membajak kekuasaan.

Ketika sebuah keluarga kelebihan syahwat untuk berkuasa, mereka melakukan apa pun. Sebagian petahana cenderung menyalahgunakan bantuan sosial dan hibah anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) guna pemenangan keluarganya dalam pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah (pemilukada) sekaligus mengerahkan perangkat birokrasi. Sebagian pimpinan daerah mengajukan pengunduran dirinya sebelum masa jabatan mereka berakhir untuk memuluskan jalan bagi kerabatnya yang akan mengikuti pemilukada serentak akhir tahun ini.

Walikota Pekalongan Basyir Ahmad dan Bupati Ogan Ilir Mawardi Yahya yang masa jabatan berakhir bulan Agustus 2015 tapi mereka mengajukan pengunduran dirinya sejak bulan Juni 2015. Istri Basyir, Balgis Diab, disebut-sebut nyalon, sementara Mawardi terang-terangan mengundurkan diri agar anaknya, Ahmad Wazir Noviadi, bisa mengikuti pemilkada. Penyebabnya syarat calon kepala daerah/calon wakil kepala daerah, yaitu tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Petahana didefenisikan sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah yang tengah menjabat.

Mereka tak mempedulikan etika dan moral. Mereka membagi-bagi kue kekuasaan dan menganggapnya wajar belaka. Tidak risih, misalnya, ketika istri menjadi gubernur, sang suami, anak, atau menantu menjadi ketua atau anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Adik, bibi, paman, dan ipar juga kebagian jatah. Berkat putusan MK, anggota keluarga, kerabat, dan kelompok orang yang masih berhubungan keluarga dengan petahana dapat mengikuti pemilukada serentak per bulan Desember 2015, tanpa harus menunggu jeda lima tahun atau satu periode jabatan.

Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) mencatat, hingga tahun 2014, 59 kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih memiliki ikatan keluarga dengan petahana. Fenomena tersebut antara lain terjadi di beberapa kabupaten/kota seperti Bangkalan (Jawa Timur), yakni Muhammad Makmun Ibnu Fuad sebagai bupati menggantikan ayahnya, Fuad Amin Imron. Di Bantul (Daerah Istimewa Yogyakarta) Sri Surya Widati menggantikan suaminya, Idham Samawi, sebagai bupati. Kasus serupa terjadi di daerah lain.

Fenomena kepala daerah/wakil kepala daerah dalam satu provinsi yang mempunyai hubungan kekerabatan terjadi di Banten. Wakil Bupati Serang Tatu Chasanah adalah adik kandung Gubernur Banten (nonaktif) Atut Chosiyah. Walikota Serang Tubagus Haerul Jaman adalah adik tiri Atut. Sedangkan Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany adalah adik ipar Atut dan Wakil Bupati Pandeglang Heryani adalah ibu tiri Atut.

Fenomena ini ‘demokrasi gerbong’ karena semua anggota keluarga, termasuk aa dan teteh, bebas keluar/masuk gerbong kekuasaan. Karena politik dinasti, kekuasaan mereka mirip di sebuah kerajaan. Mereka menumpuk kekuasaan dan menimbun kekayaan. Bermodalkan tahta dan harta yang berlimpah itu pula, mereka mempertahankan kekuasaannya. Bagi anggota keluarga yang belum kebagian jatah, mereka memanfaatkan posisi keluarganya guna memperoleh kekuasaan.

Jelas bahwa tiada satu pun alasan untuk membiarkan politik dinasti mengacak-acak demokrasi di negeri ini. Maka kita menyambut gembira ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota memberikan batasan yang tegas bahwa seseorang yang mempunyai konflik kepentingan dengan petahana tidak boleh menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah.

Mereka yakni yang memiliki hubungan darah dan ikatan perkawinan atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping, kecuali mereka melewati jeda satu kali masa jabatan. Namun, belum diterapkan dalam pemilukada, ketentuan itu malah dibunuh dan dikubur MK. Sekarang siapa saja boleh mencalonkan diri, termasuk anggota keluarga yang berhubungan dengan petahana. Kelak politik dinasti bisa leluasa menindas demokrasi, juga menjegal calon potensial yang mengancam kelanjutan dinasti mereka.

Kita mengkritik MK yang justru melegalkan politik dinasti. Betul bahwa konstitusi menegaskan setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kekuasaan. Namun, kita harus menegaskan bahwa demokrasi bukan bebas tanpa batas. Demokrasi tak boleh menafikan keadilan masyarakat. Politik dinasti jelas bertentangan dengan keadilan itu sehingga semestinya dibatasi.

Lagi pula, keluarga petahana tetap boleh mencalonkan diri setelah jeda satu periode. Putusan MK yang melegalkan politik dinasti justru langkah mundur mewujudkan demokrasi yang hakiki. Putusan itu menghambat regenerasi kepemimpinan lokal, juga menutup kesempatan calon potensial yang tak mempunyai trah penguasa.

Putusan MK sekaligus menjadi pupuk penyubur pertumbuhan politik dinasti. Bakal bermunculan raja-raja kecil yang tak mempunyai kapasitas dan integritas sebagai pemimpin daerah, tapi terpilih menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah karena kekuasaan dan kekayaan dinastinya.

Karena putusan MK itu final, harapan untuk membendung gurita politik dinasti adalah pemilih. Kita berharap rakyat makin cerdas, kian memahami racun politik dinasti yang mematikan demokrasi sehingga tak memilih mereka. Sayang sekali, MK mengabaikan konsekuensi pencalonan kerabat petahana dalam pemilkada yang jujur, adil, dan demokratis. Entah mengapa MK mempertimbangkan hak politik kerabat petahana, bukan kemaslahatan rakyat.

Oleh : La Ode Muhamad Fardan
Sarjana Ilmu Komunikasi / Fisip UHO
Pengurus Pusat Studi Demokras Kendari
"PSD Kota Kendari-Sultra"

SHARE

Cakrawala Sultra Adalah Media Online Independen Terkini Seputar Sulawesi Tenggara | Artikel Ini Publikasikan Oleh odenews

    Ayo Berkomentar
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

AYO LIBURAN KE KENDARI