Oleh : La Ode Muhamad Fardan
Sarjana Ilmu Komunikasi / Fisip UHO
Univesitas Halu Oleo Kendari
Banyak orang resah mengapa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilukada) melegitimasi dinasti politik dan pesta keluarga. Anak, istri, suami, kakak, adik, sepupu, dan ipar pejabat daerah, baik kepala daerah atau wakil kepala daerah maupun pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), terpilih menjadi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Bagaimana mengakhiri politik dinasti dan pesta keluarga dalam pemilukada?
Adriatma Dwi Putra, menggantikan ayahnya, "Asrun" sebagai Walikota terpilih tahun ini. pasangan ini (ADP-SUL) mereka terpilih lewat pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilukada/Walikota) , yang disebut-sebut sebagai pesta demokrasi. Adriatma Dwi Putra atau biasa dikenal dengan nama ADP dalam dunia perpolitikan kota kendari adalah anak Walikota Kendari yang masih menjabat sebagai Walikota hingga diujung tahun ini, dimana seorang Ayah tersebut menjabat sebagai Walikota Dua Periode, dan Anaknya sendiri yang siap menggatikan roda estafet kepemimpinannya mendatang sebagai Walikota Kendari terpilih.
ADP dipilih oleh rakyat Kota kendari. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) tidak melarang anak menjadi calon dalam pemilukada untuk menggantikan ayah atau ibunya, istri menggantikan suaminya dan suami menggantikan istrinya, serta adik menggantikan kakaknya atau kakak menggantikan adiknya. Mereka tidak melanggar aturan hukum karena rakyat yang menjadi penentu.
ADP tak sendirian. di negara ini banyak roda estafet kepemimpinan dilanjutkan dari kubu keluarga dekat, seperi Ahmed Zaki Iskandar terpilih sebagai Bupati Tangerang, Banten, menggantikan ayahnya, Ismet Iskandar, yang tak mungkin menjadi calon kembali. "UUD 1945 dan UU Pemerintahan Daerah membatasi masa jabatan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, juga kepala negara dan/atau wakil kepala negara, hanya dua periode".
Bukan hanya ADP dan Ahmed yang terpilih untuk menggantikan ayah mereka memimpin daerah. Ni Putu Eka Wiryastuti sejak tahun 2010 menjadi Bupati Tabanan, Bali, menggantikan ayahnya, Ni Adi Wiryatama, yang dua periode memimpin daerah.
Tak hanya anak yang meneruskan kepemimpinan keluarga di suatu daerah. Fenomena istri yang terpilih sebagai kepala daerah menggantikan suaminya yang tak mungkin lagi menjadi calon juga terjadi. Anna Sophanah menjadi Bupati Indramayu, Jawa Barat, menggantikan suaminya, Irianto Mahfudz Sidik Syafiuddin—nama populernya: Kang Yance, atau Sri Surya Widati sebagai Bupati Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menggantikan suaminya, Idham Samawi.
Di Kediri, Jawa Timur, Haryanti Sutrisno menggantikan suaminya, Sutrisno, sebagai bupati. Rakyat Probolinggo, Jawa Timur, memilih Puput Tantriana Sari sebagai bupati menggantikan suaminya, Hasan Aminudin. Di Kota Cimahi, Jawa Barat, Atty Suharti Masturi terpilih sebagai walikota. Ia menggantikan Itoch Tochija, suaminya.
Syukurnya hanya pejabat daerah level bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota yang “bisa” diwariskan kepada suami, istri, atau anak kendati keterpilihannya dalam pemilihan umum. Belum terjadi suami, istri, atau anak menggantikan istri, suami, atau ayah ibunya menjadi gubernur dan wakil gubernur. Tentunya pemilukada DI Yogyakarta kasus pengecualian.
Putra Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajan, Ivan Sarundajang, terpilih sebagai Wakil Bupati Minahasa. Sebelumnya, Rycko Mendoza, anak Gubernur Lampung Sjachroedin Zainal Pagaralam, terpilih sebagai Bupati Lampung Selatan. Airin Rachmi Diany, adik ipar Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, menjadi Walikota Tangerang Selatan.
Selain kemunculan anak atau istri yang mengambil alih “kursi” ayah atau suami, tak sedikit pula anak atau istri, bahkan suami, yang “dimagangkan” di sejumlah jabatan politis di daerah dan pusat. Pemilu menjadi jalan mereka untuk terpilih. Kerabat Ratu Atut, termasuk suami, anak, dan menantunya, menduduki sejumlah jabatan politis. Juga Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo; Bupati Lebak, Banten, Mulyadi Jayabaya; Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang; dan Ketua DPRD Jawa Tengah (nonaktif) Murdoko yang kerabatnya menyebar di sejumlah jabatan politis di daerah dan pusat.
Pesta Keluarga
Politik kekeluargaan yang marak terjadi di daerah sesungguhnya berpotensi penyalahgunaan kekuasaan. Sebab, pemimpin yang baru masih sekerabat pemimpin yang lama dan ia bisa hanya menjadi boneka dan dikendalikan oleh pemimpin yang lama. Kejadian begini adalah bentuk nepotisme dan kolusi yang mengatasnamakan demokrasi.
Aturan perundang-undangan memang tidak melarang pergantian kepemimpinan nasional atau daerah oleh keluarga. Namun, perilaku ini jelas-jelas merugikan rakyat. Calon berkualitas terhalang. Kelanjutan sistem pemerintahan yang baik pun terganggu.
Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) menanggapi fenomena dinasti politik ini. Revisi UU 32/2004 mengatur bahwa keluarga kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah petahana terlarang untuk mencalonkan diri dalam pemilukada berikutnya. Minimal satu periode terlewati. Larangan ini berlaku bagi ayah/ibu, anak/menantu, suami/istri, atau kakak/adik kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah petahana.
Larangan ini termasuk ketentuan draf Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (RUU Pemilukada), yang merupakan bagian revisi UU Pemerintahan Daerah. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) harus menyepakati aturan versi pemerintah ini karena bertujuan baik. Tidak bisa ditafsirkan melanggar hak politik warga negara, yang berarti melanggar konstitusi.
Tahun 2012 segera berakhir dan tahun 2013 segera berawal. Entah berapa jumlah pemilukada gubernur-wakil gubernur serta pemilukada bupati-wakil bupati dan walikota-wakil walikota yang berlangsung sejak dulu hingga kini dalam era reformasi ini. Jika pemerintah bersama DPR dan DPD mengesahkan RUU Pemilukada, termasuk larangan tersebut, maka politik dinasti dan pesta keluarga dalam pemilukada bisa berakhir.
0 komentar:
Posting Komentar