Pertikaian kelompok di masyarakat Bonebone – Tarafu (Bobota) Kota Baubau, mencuat kembali sebagai bukti bahwa Pemerintah Kota bersama Pemerintah Kelurahan yang bertugas menciptakan keamanan dan ketertiban warga, ternyata belum dapat menemukan solusi yang tepat dalam menangani perkelahian antar kelompok masyarakat.
Ada satu hal yang ganjil dalam perilaku massa adalah ciri psikologis yang ditimbulkan, para pelaku mengalami peningkatan rasa tidak bersalah atas tindakan kekerasan yang mereka lakukan. Akal sehat disingkirkan dan digantikan dengan moralitas lemah yang menjauhi konteks budaya dan agama dimana moralitas tersebut dibangun.
Sebagai institusi yang berkuasa yang berada di kota ini seharusnya menyadari persoalan krusial ini, tugas pemerintah yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga negara seyogyanya diperankan dengan maksimal. Memang telah banyak upaya penenggulangan yang di lakukan sampai pada tahap deklarasi perdamaian yang melibatkan beberapa unsur-unsur mulai dari pihak elemen non pemerintah, hingga Walikota dan jajaran Muspida beberapa stakeholder yang terkait didalamnya ternyata belum mampu meminimalisir dan melaksanakan tugasnya secara optimal dalam pencegahan dan penanggulangan konflik kekerasan perkelahian Bobota yang kerap kali terjadi, sehingga menimbulkan rasa tidak aman kecemasan dan ketakutan pada warga masyarakat sekitar.
Resky Ishak : Ketua Umum Forum Komunikasi Bau-Bau Kota Kendari (FKB2K) Sultra
banyak referensi yang bisa dijadikan acuan dalam menelaah akar kekerasan seperti ini yang kerap terjadi sebagai suatu produk sosial masyarakat kota.
Menarik gagasan Budi Hardiman yang banyak mengambil gagasan dari para pemikir psikoanalisa pada tiga akar kekerasan yang terkait dengan conditio humana, yaitu: yang bersifat epistemologis, antropologis, dan sosiologis (Dikutip dari artikel Memahami akar-akar kekerasan massa, 28 Juli 2008). Secara epistemologis kekerasan massa atau perkelahian antar kelompok terjadi karena menganggap orang atau kelompok lain berada dari luar dirinya . Jadi kekerasan dilakukan bukan terhadap yang sesama, melainkan yang lain. Dalam perspektif antropologis, individu tidak akan bergabung ke dalam massa dan melakukan kekerasan kolektif semata-mata spontan dan naluriah. “Kewajaran” dalam melukai atau melakukan kekerasan dimungkinkan karena individu-individu memandang tindakan kekerasannya sebagai sesuatu yang bernilai (Kartini,Kartono, 2010:106).
Karena itu, menemukan bagaimana sebuah sistem nilai memotivasi manusia untuk melakukan kekerasan terhadap sesamanya adalah langkah penting untuk menemukan akar psikologis kekerasan. Manusia akan melakukan kekerasan tanpa merasa bersalah jika tindakan itu dipandang sebagai realisasi suatu nilai. Kekerasan adalah bentuk realisasi diri.
Perkelahian antar kelompok merupakan persoalan esensial yang patut bagi pemerintah daerah untuk segera memaksimalkan potensi dan peran yang dimiliki dengan membuat perencanaan strategis untuk menanggulangi sirkulasi kekerasan yang merebak di masyarakat, maka patut pula untuk meninjau kembali upaya apay apa yang telah dilakukan selama ini sebagai bahan evaluasi kebijakan ke depannya dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Bobota.
Ketakutan dari konflik yang timbul di masyarakat Bobota adalah ketika konflik tersebut berjalan serupa spiral konflik yang tak berhenti. Pertikaian antar kelompok yang dikatikan dengan suku, agama, ras, dan antar golongan. Ketika konflik seperti ini terus berulang Itu menunjukkan bahwa sebuah wilayah telah kehilangan modal sosial, nilai kemasyarakatan yang dianut, musyawarah dan toleransi antar sesama yang diakui sebagai perekat nilai kebangsaan kita dan dudukan idiologi adat budaya masyrakat Buton.
Penulis : Resky Ishak
Editor : La Ode Muh Fardan
0 komentar:
Posting Komentar