Jika dituliskan seperti ini,
orang-orang yang tidak memberikan uang pada mereka pasti akan terlihat jahat.
Saya bukan termasuk pada yang anti memberi uang pada mereka dan saya pun juga
bukan pendukungnya. Pernah suatu saat saya menemukan seekor kucing berbaring
dengan nyaman di halaman rumah saya. Saya langsung bergegas mengambil beberapa
ayam sisa makan malam dan menaruhnya di tanah. Sang kucing pun langsung
menghampiri dan menikmatinya dengan lahap. Keesokan harinya, saya pun menaruh
makanan di tempat yang sama dan tak tersangkalkan kucing itu pun kembali.
Setiap hari saya menaruh makanan di tempat yang sama dan kucing itu pun menjadi
makin sering berada di halaman saya. Suatu ketika saya harus pergi ke luar kota
selama seminggu. Sepulangnya saya dari luar kota, saya menaruh makanan bagi
kucing itu di tempat yang biasa. Tapi kucing itu tidak pernah kembali lagi ke
halaman saya karena selama seminggu dia tidak menemukan makanannya di tempat
biasa. Seperti kucing ini, anak jalanan akan terus kembali ke jalan jika ada
yang terus memberikan mereka uang. Mereka menganggap jalanan adalah rumah
mereka dan pasti ada saja beberapa orang yang akan beberbelas kasihan dan
memberikan mereka “makanan”. Kita sering mengeluh mengapa masalah anak jalanan
seperti tidak terselesaikan di Indonesia. Namun kita tidak menyadari bahwa kita
secara tidak langsung mendukung anak jalanan untuk tetap berada di jalan.
Tidak hanya faktor diatas yang
membuat masalah anak jalanan sulit ditanggulangi. Suatu ketika saya sedang
mengendarai mobil bersama ayah saya. Dalam perjalanan kami berhenti pada saat
lampu merah. Seorang anak laki-laki menghampiri mobil kami dan mulai menyanyi.
Ayah saya menurunkan kaca mobilnya untuk memberikan sejumlah uang padanya dan
ayah saya dengan bercanda berkata, “Adek kenapa nggak di rumah aja?”. Jawaban
anak kecil itu sangat mengejutkanku. Dia menerima uang yang ayahku berikan dan
menjawab, “Kalo pulang cepet terus nggak bawa duit nanti dipukul ayah.”. Lalu
dia berlalu begitu saja menuju mobil belakang. Kemiskinan memang tidak bisa
dipisahkan dari masalah ini. Keluarga miskin merasa sangat sulit menjalani
kehidupan dengan uang yang mereka hasilkan sehingga mereka merasa harus
memanfaatkan tenaga anak mereka untuk mencari uang tambahan. Mereka merasa
tidak ada gunanya menyekolahkan anak-anak mereka karena tidak langsung
menghasilkan uang. Dan seperti jawaban anak tadi, hukuman-hukuman seperti
pukulan dan tindakan kekerasan lain itu yang membuatnya tidak bisa meninggalkan
jalanan walaupun ia mau.
Jika berbicara tentang anak jalanan
kita pasti tidak bisa lupa tentang pasal 34 UUD 1945. “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara” begitu bunyi dari pasal tersebut. Orang-orang
terus menuntut pemerintah untuk memelihara para penghuni jalanan tersebut
karena isi pasal tersebut. Banyak yang menganggap pemerintah negara gagal dalam
menanggulangi masalah anak jalanan ini dan bersikap selayaknya tidak peduli pada nasib mereka. Saya terus
terpaku pada kata negara. Sebenarnya negara apakah yang dimaksud dalam pasal
tersebut? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang saya buka secara online
definisi negara adalah sebagai berikut
"ne·ga·ra - 1, organisasi dl suatu wilayah yg
mempunyai kekuasaan tertinggi yg sah dan ditaati oleh rakyat; 2 kelompok sosial
yg menduduki wilayah atau daerah tertentu yg diorganisasi di bawah lembaga
politik dan pemerintah yg efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat
sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya: kepentingan — lebih penting dp
kepentingan perseorangan"
Dari definisi nomor 2 KBBI kita
bisa mengambil kesimpulan bahwa yang bertanggung jawab atas pemeliharaan fakir
miskin dan anak jalanan bukan hanya pemerintah negara tapi juga seluruh rakyat
yang tinggal di dalam negara tersebut. Bukan hanya presiden, para pejabat DPR,
atau menteri yang bertanggung jawab tapi kita yang mungkin dalam taraf ekonomi
lebih baik dari mereka juga ikut harus ikut bertanggung jawab dalam
pemeliharaan.
Sebenarnya
pemeliharaan anak jalanan tidak bisa dibilang sepenuhnya tidak diperhatikan
oleh masyarakat. Sudah ada beberapa lembaga-lembaga penampungan anak jalanan
yang juga menyediakan pendidikan bagi anak-anak jalanan yang ditampung di
dalamnya. Seperti Yayasan Griya Asih yang terletak di Cempaka Putih, Jakarta
Pusat. Yayasan Yayasan Komunikasi Anak Jalanan Kendari (KOJAK)
Seperti
yang kita bisa baca diatas, masalah anak jalanan bisa diselesaikan dengan
memberikan mereka edukasi yang cukup di tempat-tempat penampungan yang layak.
Tahun lalu, pemerintah Jakarta menyiapkan 136 lokasi penampungan anak jalanan.
Namun sayangnya hanya 30% yang berjalan dengan baik atau sekitar 41 lokasi.
Jumlah tersebut tentunya sangat kurang untuk 8.000 anak jalanan pada tahun
tersebut. Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2015 jumlah anak jalanan
bertambah sebanyak 50% menjadi sekitar 12.000. Tidak hanya itu, tidak sedikit
anak jalanan yang sudah di razia oleh polisi setempat dan dimasukkan ke dalam
penampungan mencoba kabur dan berusaha kembali mengemis di jalan. Alasannya
karena mereka merasa tidak betah di dalam penampungan yang tidak layak. Mereka
merasa lebih baik mereka tinggal di jalanan dan mencari uang sendiri dengan
cara mengemis atau mengamen. Kekurangan kucuran dana dari pemerintah adalah
alasan yang kuat bagi para pengurus penampungan atas masalah ini. Kekurangan
tenaga kerja edukasi juga memperburuk masalah ini.
fardan ode
Banyak yang berkata bahwa anak jalanan itu sulit diatur, suka merusak fasilitas umum, berkata kasar, bertindak tidak sopan, dan sebagainya. Kita tidak bisa begitu saja menggeneralisasikan seperti itu. Teman saya, yang selalu naik kereta setiap hari untuk mencapai kampusnya, pernah bertemu dengan seorang anak jalanan di suatu stasiun di bilangan Jakarta. Saat itu stasiun sedang penuh dan antrian tiket pun sangat panjang. Seorang bapak yang tidak sabar mencoba memotong barisan. Lalu seorang pengemis anak-anak menghampiri bapak itu dan berkata, “Jangan gitu, Pak. Bebek aja antri, kita antri juga yuk!”. Perkataan anak tersebut langsung membawa senyuman ke setiap pengantri yang mendengar. Mereka juga masih anak bangsa. Mereka juga punya potensi-potensi besar. Mereka juga butuh kasih sayang dan perhatian. Mereka juga masih memiliki kesadaran akan moral. Dengan dukungan edukasi, mereka masih bisa menjadi penerus-penerus bangsa yang adil dan beradab.
Banyak yang berkata bahwa anak jalanan itu sulit diatur, suka merusak fasilitas umum, berkata kasar, bertindak tidak sopan, dan sebagainya. Kita tidak bisa begitu saja menggeneralisasikan seperti itu. Teman saya, yang selalu naik kereta setiap hari untuk mencapai kampusnya, pernah bertemu dengan seorang anak jalanan di suatu stasiun di bilangan Jakarta. Saat itu stasiun sedang penuh dan antrian tiket pun sangat panjang. Seorang bapak yang tidak sabar mencoba memotong barisan. Lalu seorang pengemis anak-anak menghampiri bapak itu dan berkata, “Jangan gitu, Pak. Bebek aja antri, kita antri juga yuk!”. Perkataan anak tersebut langsung membawa senyuman ke setiap pengantri yang mendengar. Mereka juga masih anak bangsa. Mereka juga punya potensi-potensi besar. Mereka juga butuh kasih sayang dan perhatian. Mereka juga masih memiliki kesadaran akan moral. Dengan dukungan edukasi, mereka masih bisa menjadi penerus-penerus bangsa yang adil dan beradab.
Memang
bukan kewajiban kita untuk menampung dan memberikan pendidikan, makanan, rumah,
dan kasih sayang pada anak-anak jalanan. Tapi sebagai warga Indonesia kita juga
harus turut berpartisipasi dalam mengatasi masalah anak jalanan. Bukan dengan
memberikan mereka uang seribu rupiah di pinggir jalan. Kita harus lebih sering
memberikan sumbangan dana pada lembaga-lembaga yang mengurus masalah anak jalanan,
mengadakan acara sosial untuk membantu keluarga-keluarga miskin, dan yang
paling penting adalah dengan tidak bersikap acuh dan peduli terhada masalah
ini. Jika semua masyarakat melakukan hal ini, saya rasa masalah anak-anak
jalanan akan cepat terselesaikan.
Penulis Journalis zonasultra: Ar .Ode Muhamad Fardan
0 komentar:
Posting Komentar